Pages - Menu

Jumat, 11 Februari 2011

Hukum dan Masail Haid

Ummu Ishaq Al AtsariyahDalam edisi terdahulu kami telah menyebutkan tujuh dari hukum-hukum yg berkaitan dgn haid. Hukum yg selanjutnya kami sebutkan berikut ini :Kedelapan : Cerai/TalakDiharamkan bagi seorang suami utk menceraikan istrinya dalam keadaan haid berdasarkan firman Allah Ta’ala :“Wahai Nabi apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat ‘iddah-nya… .” Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.“Ibnu Abbas menafsirkan : {{Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci setelah itu ia bisa menceraikannya}}.” Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adl seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi {ketika suci tersebut} atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adl seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dgn sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah- nya krn haid yg sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yg dicerai suaminya adl tiga quru’ {tiga kali haid atau tiga kali suci}.Allah berfirman :“Wanita-wanita yg ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru’… .” {Al Baqarah : 228}Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti krn belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dgn kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dgn hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dgn wanita yg tidak hamil. ‘Iddah wanita yg hamil disebutkan dalamfirman Allah Ta’ala :“Dan wanita-wanita yg hamil masa ‘iddah mereka adl sampai mereka melahirkan kandungannya.” Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.Apabila seorang suami menceraikan istrinya yg sedang haid maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya utk ia ceraikan dgn cerai yg syar’i sesuai dgn perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut kemudian ia tahan lagi {jangan dijatuhkan talak} sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu . {Risalah fi Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’.

Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin}Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dgn sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepadaNabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah kemudian beliau bersabda :“Perintahkanlah ia agar merujuk istrinya kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian istrinya haid lagi lalu suci.

Setelah itu jika ia mau ia tahan istrinya dan jika ia mau ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yg diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla utk menceraikan wanita {bila ingin dicerai pent.}.” Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil.”Al Imam Ash Shan’ani menyebutkan keharaman talak dalam masa haid ini dalam kitabnya Subulus Salam demikian juga Al Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar Menurut Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ada tiga keadaan yg dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid :Pertama : Apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dgn si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dgn si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada ‘iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.Kedua : Apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil dan telah lewat penjelasan hal ini.Ketiga : Apabila talak dijatuhkan dgn permintaan istri dgn cara ia menebus dirinya dgn mengembalikan sesuatu yg pernah diberikan suaminya atau diistilahkan dgn khulu’.Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Disebutkan bahwasannya istrinya Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agamanya. Akan tetapi aku tidak suka kufur dalam Islam.”(1)Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada istrinya Tsabit :( “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya (yakni kepada Tsabit pent)?” Wanita itu menjawab : “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Tsabit : “Terimalah kebun tersebut dan jatuhkan talak satu padanya.” {HR.Bukhari nomor 5273 5374 5275 5276} )Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.Ibnu Qudamah dalam Al Mughni ketika memberikan alasan dibolehkannya khulu’ {permintaan cerai dari wanita dgn mengembalikan mahar} pada masa haid beliau menyatakan : “Larangan dijatuhkannya talak ketika haid krn bermudlarat bagi si wanita dgn panjangnya masa ‘iddah yg harus dia hadapi. Sedangkan khulu’ dibolehkan utk menghilangkan kemudlaratan bagi si wanita berupa buruknya pergaulan dgn suami dan hidup bersama suami yang yg tidak ia suka. Yang demikian ini lbh besar kemudlaratannya daripada kemudlaratan panjangnya ‘iddah. Maka dibolehkan menolak kemudlaratan yg lbh besar dgn kemudlaratan yg lbh kecil. Karena itulahNabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan kepada istri yg mengajukan khulu’ tentang keadaannya {apakah ia haid atau suci pent.}.” Kesembilan : Masa ‘Iddah Dihitung Dengan HaidSebagaimana yg telah disebutkan di atas bahwasannya ‘iddah wanita yg bercerai dgn suaminya dan keduanya sudah pernah berduaan atau berhubungan adl tiga quru’ sedangkan wanita yg sedang hamil masa ‘iddah-nya sampai melahirkan sama saja apakah saat melahirkan masih panjang atau pendek.Apabila si istri tidak mengalami haid krn usianya masih kecil misalnya atau si istri telah menopause maka masa ‘iddah-nya selama tiga bulan berdasarkanfirman Allah :“Wanita-wanita yg sudah berhenti dari haid dari kalangan istri-istri kalian. Jika kalian ragu maka ‘iddah mereka adl tiga bulan demikian pula wanita-wanita yg belum haid.” {Ath Thalaq : 4}Kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : “Apakah wanita tersebut masih mengalami haid namun krn penyakit atau sedang menyusui hingga haidnya berhenti maka ‘iddah-nya seperti wanita yg mengalami haid yg normal walaupun masanya panjang utk datangnya haid itu hingga ia mulai ber-’iddah dengannya. Apabila sebab terhentinya haid telah hilang misalnya telah sembuh dari sakit namun haidnya belum juga datang maka ia ber-’iddah selama satu tahun penuh sejak hilangnya sebab tersebut. Ini merupakan pendapat yg shahih yg sesuai dgn kaidah- kaidah syar’iyyah. ‘Iddah setahun tersebut dgn perincian sembilan bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan hamil dan tiga bulan darinya utk ‘iddah.” Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad sebelum berduaan dan bersetubuh maka tidak ada ‘iddah bagi wanita tersebut berdasarkanfirman Allah :“Wahai orang-orang yg beriman apabila kalian menikahi wanita-wanita Mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh maka tidak ada kewajiban atas mereka ‘iddah bagi kalian yg kalian minta menyempurnakannya.” Kesepuluh : Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur’anAlImam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan dgn sanadnya sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha ia berkata :“Kami dulunya diperintah utk keluar pada Hari Raya sampai- sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang mereka bertakbir dan berdo’a dgn takbir dan doanya orang-orang yg hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.” ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :“Perbuatlah sebagaimana yg dilakukan seorang yg berhaji hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci .” {HR.Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj}Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan utk berdzikir kepada Allah Ta’ala dan Al Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah berfirman :“Sesungguhnya Kami-lah yg menurunkan Adz Dzikir dan Kami-lah yg akan menjaganya.” Apabila seorang yg berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka demikian pula bagi wanita haid krn yg dikecualikan dalam laranganNabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah yg sedang haid hanyalah Thawaf.Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yg membolehkan dan ada yg tidak membolehkan.Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad dan pendapat ini yg dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : “Asal dalam perkara ini adl halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali krn ada larangan yg shahih yg jelas.”Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid utk membaca Al Qur’an akan tetapi boleh baginya utk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan {atau menyamakan} haid dgn junub padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yg melarang orang junub utk membaca Al Qur’an.Yang kuat dalam hal ini adl pendapat yg pertama dan ini bisa dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. {Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii murid senior Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i}Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’ membawakan bantahan bagi yg berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau berkata : “Maka kesimpulan permasalahan ini adl boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an krn tidak ada dalil yg shahih yg jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yg melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yg memberi faedah bolehnya membaca Al Qur’an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya Wallahu A’lam.”Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita HaidAl Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan bolehnya wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dgn madzhab Abu Hanifah. Berbeda dgn pendapat jumhur yg melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap Al Qur’an.Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : “Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun dalil-dalil yg mereka bawakan utk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna utk dijadikan sisi pendalilan. Dan yg kami pandang benar Wallahu A’lam bahwasannya boleh bagi wanita haid utk menyentuh mushaf Al Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yg digunakan oleh mereka yg melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut {untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang utk menyentuh mushaf pent.} :1}Firman Allah Ta’ala :“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yg disucikan.” 2} Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yg suci.” {HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465}Jawaban atas dalil di atas :Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yg diinginkan dgn dlamir dalamfirman Allah Ta’ala : } adl ‘Kitab Yang Tersimpan Di Langit’.

Sedangkan } adl ‘Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia :“Sesungguhnya dia adl Qur’an yg mulia dalam kitab yg tersimpan tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun .” Dan yg menguatkan hal ini adl firman Allah Ta’ala :“Dalam lembaran-lembaran yg dimuliakan yg ditinggikan lagi disucikan di tangan para utusan yg mulia lagi berbakti .” Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yg dimaukan dgn Al Muthahharun adalah kaum Mukminin berdalil dgn firman Allah :“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” Dan dgn sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dgn membawa mushaf ke negeri musuh krn khawatir jatuh ke tangan mereka. {HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma}Pendapat Ketiga : Bahwasannya yg dimaukan dgn firman Allah : “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yg disucikan.” adl tidak ada yg dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yg dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin.Namun adapula Ahli Tafsir yg berpendapat dgn pendapat keempat bahwa : “Yang dimaksudkan dgn Al Muthahharun adl mereka yg disucikan dari dosa- dosa dan kesalahan.Dan yg kelima : Al Muthahharun adl mereka yg suci dari hadats besar dan kecil.Sisi keenam : Al Muthahharun adl mereka yg suci dari hadats besar .Mereka yg membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yg pertama dgn begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yg menunjukkan larangan bagi wanita haid utk menyentuh Al Qur’an. Sedangkan mereka yg melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dgn malaikat.Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yg shahih tidak pula yg hasan bahkan yg mendekati shahih atau hasan utk hadits yg dijadikan dalil oleh mereka yg melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Setiap sanad hadits ini yg aku dapatkan semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dgn dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak?Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat Asy Syaikh Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’ . Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yg mulia di atas. Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yg dimaksud dgn ‘thahir’ adl orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.Keduabelas : Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu ada yg membolehkan dan ada yg tidak membolehkan.Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yg membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :Dalil Yang Membolehkan :1} Al Bara’ah Al Ashliyyah maknanya tidak ada larangan utk masuk ke masjid.2} Bermukimnya wanita hitam yg biasa membersihkan masjid di dalam masjid pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia utk meninggalkan masjid ketika masa haidnya dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.3} Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yg tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Lakukanlah apa yg diperbuat oleh seorang yg berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah utk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid .4} Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” {HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid}5} Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dgn haid.Mereka yg membolehkan juga berdalil dgn keberadaan ahli shuffah yg bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yg mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yg i’tikaf di masjid tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yg mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yg i’tikaf ada yg haid.Dalil Yang Melarang :1} Firman Allah Ta’ala :“Wahai orang-orang yg beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yg kalian ucapkan dan jangan pula orang yg junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” Mereka mengatakan bahwa yg dimaksud dgn kata ‘shalat’ dalam ayat di atas adl tempat-tempat shalat berdalil dgn firman Allah Ta’ala :“… niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani tempat ibadah orang umum dari Nasrani shalawat dan masjid-masjid.” Mereka berkata : “} maknanya }.”Di sini mereka mengkiaskan haid dgn junub. Namun kata Asy Syaikh Mushthafa : “Kami tidak sepakat dgn mereka krn orang yg junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran utk bersegera dalam bersuci sedangkan wanita yg haid tidak dapat berbuat demikian.”2} Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka utk keluar ke tanah lapangan pada saat shalat Ied. Beliau menyatakan :“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” Jawaban atas dalil ini adl bahwa yg dimaksud dgn ‘mushalla’ di sini adl ‘shalat’ itu sendiri yg demikian itu krn Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya shalat Ied di tanah lapang bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya utk ummat ini sebagai masjid .3} Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendekatkan kepala beliau kepada ‘Aisyah yg berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid hingga ‘Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu ‘Aisyah sedang haid.Jawaban atas dalil ini adl tidak ada di dalamnya larangan secara jelas bagi wanita haid utk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.4} Perintah-perintah yg ada utk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran.Dalam hal ini juga tidak ada larangan yg tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.5} Hadits yg lafadhnya :“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” {HR. Abu Daud 1/232 Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124}Namun hadits ini dlaif krn ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah.“Sebagai akhir” kata Asy Syaikh Mushthafa “kami memandang tidak ada dalil yg shahih yg tegas melarang wanita haid masuk ke masjid dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya.” {Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/191-195 dgn sedikit ringkasan}Ketigabelas : Wajibnya Mandi Setelah Suci Dari HaidApabila wanita bersih dari haidnya maka ia wajib mandi dgn membersihkan seluruh tubuhnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yg engkau biasa haid padanya dan {jika telah selesai haidmu} mandilah dan shalatlah.” Yang wajib ketika mandi ini adl minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut.

Dan yg utama melakukan mandi sebagaimana yg disebutkan dalam hasdits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid.

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagaimana yg dikhabarkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bersabda :( “Ambillah secarik kain yg diberi misik lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya : “Bagaimana cara aku bersuci dengannya?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi : “Bagaimana caranya?” Nabi berkata : “Subhanallah bersucilah”. ‘Aisyah berkata : Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya : “Ikutilah bekas darah dgn kain tersebut”. )Atau lbh lengkapnya disebutkan dalam riwayat Muslim bahwasannya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengajarkan :( “Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dgn kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya kemudian ia tuangkan air ke atasnya kemudian ia ambil secarik kain yg diberi misik lalu ia bersuci dengannya”. Maka bertanya Asma : “Bagaimana cara ia bersuci dengannya?” Nabi menjawab : “Subhanallah engkau bersuci dengannya”. ‘Aisyah berkata kepada Asma dgn ucapan yg pelan yg hanya didengar oleh orang yg diajak bicara : “Engkau mengikuti bekas darah dgn kain tersebut”. )Al Imam Nawawi rahimahullah ketika men-syarah hadits di atas menyatakan : “Telah berkata Al Qadli ‘Iyadl rahimahullahu ta’ala : adalah bersuci dari najis-najis dan apa yg terkena najis berupa darah haid}}. Demikian dikatakan Al Qadli. Namun yg lbh jelas Wallahu A’lam bahwasannya yg dimaksud dgn bersuci yg pertama adl wudlu sebagaimana hal ini disebutkan dalam sifat/cara mandi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” Hadits di atas juga menunjukkan sunnahnya mengikuti bekas darah dgn kain/kapas yg diberi misik sementara perkara ini banyak dilalaikan oleh para wanita. Kata Al Imam Nawawi rahimahullah : “Ulama berselisih tentang hikmah menggunakan misik .

Pendapat yg shahih yg terpilih yg diucapkan oleh jumhur ashab kami {ulama dalam madzhab Syafi’i} dan selain mereka adl maksud menggunakan misik itu utk mengharumkan bekas tempat darah dan mencegah/menghilangkan bau yg tidak sedap.”Dan dipahami dari hadits riwayat Muslim di atas bahwa penggunaan kain yg diberi misik tersebut dilakukan setelah selesai mandi.Selanjutnya Al Imam Nawawi berkata : “Perkara ini disunnahkan bagi tiap wanita yg mandi dari haid atau nifas sama saja apakah ia memiliki suami atau tidak. Ia gunakan kain bermisik tersebut setelah mandi. Apabila ia tidak mendapatkan misik maka boleh ia menggunakan wewangian apa saja yg ia dapatkan. Apabila ia juga tidak mendapatkan wewangian lain maka disunnahkan baginya utk menggunakan tanah atau yg semisalnya dari benda-benda yg dapat menghilangkan aroma tidak sedap. Demikian disebutkan oleh ashab kami. Apabila ia tidak mendapatkan apapun maka air cukup baginya. Akan tetapi jika ia meninggalkan pemakaian wewangian padahal memungkinkan bagi dirinya unutk memakainya maka hal itu dimakruhkan baginya. Namun bila tidak memungkinkan maka tidak ada kemakruhan bagi dirinya.” {Syarah Shahih Muslim 4/13-14}Pemakaian wewangian ketika mandi haid ini sangat ditekankan sampai-sampai wanita yg sedang ber-ihdad(2)diberi rukhshah/keringanan utk mengoleskan wewangian pada daerah sekitar farji/kemaluan setelah selesai mandi haid sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha ia berkata : “Kami dilarang untuk ber-ihdad atas mayat lbh dari tiga hari kecuali bila yg meninggal itu adl suami maka ihdad-nya 4 bulan 10 hari. kami tidak boleh bercelak tidak boleh memakai wewangian tidak boleh memakai pakaian yg dicelup kecuali pakaian ‘ashb {dari kain Yaman pent.}. Dan kami diberi keringanan utk menggunakan sepotong kain yg diberi wewangian ketika salah seorang dari kami mandi utk bersuci dari haid. Dan kami juga dilarang untuk mengikuti jenasah.”Apakah wajib bagi wanita yg mandi haid utk melepaskan ikatan rambutnya? Al Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan dgn sanadnya sampai kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahwasannya ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :( “Aku adl wanita yg sangat kuat ikatan rambutku apakah aku harus melepaskannya utk mandi janabah?” Dalam riwayat lain : “… dan mandi haid?”(3) Beliau menjawab : “Tidak hanya saja cukup bagimu utk menuangkan air di atas kepalamu tiga kali tuangan kemudian engkau alirkan air ke tubuhmu dgn begitu maka engkau suci.” )Al Imam Ash Shan’ani dan Al Imam As Syaukani {dalam Nailul Authar 1/346} keduanya menyebutkan tidak wajibnya melepas ikatan rambut bagi wanita ketika mandi wajib.Kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak wajib melepas ikatan rambut kepala ketika mandi kecuali bila ikatannya sangat kuat sehingga tidak memungkinkan air mencapai pokok- pokok rambut berdasarkan hadits Ummu Salamah yg diriwayatkan oleh Muslim {kemudian beliau menyebukan hadits yg tersebut di atas}.” Asy Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata : “Yang shahih tidaklah wajib bagi wanita untuk melepas ikatan rambutnya ketika mandi haid berdalilkan keterangan yg datang dalam sebagian riwayat Ummu Salamah yg dikeluarkan oleh Al Imam Muslim… .”Jumhur ulama berpendapat apabila air mencapai seluruh kepala bagian luarnya maupun dalamnya tanpa harus melepas ikatan rambut maka tidak wajib melepasnya.Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim : “Yang kuat dalam dalil adl tidak wajib melepas ikatan rambut ketika mandi haid sebagaimana tidak wajib melepasnya ketika mandi janabah… .” {Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dgn catatan kaki yg dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu Bassam serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49}Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi menyatakan : “Termasuk perkara yg disunnahkan saja utk wanita melepas ikatan rambutnya ketika mandi haid dan hal ini tidaklah wajib dan ini merupakan pendapat mayoritas ahli fikih. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm mengatakan : {{Apabila seorang wanita memiliki rambut yg diikat maka tidak wajib baginya untuk melepas ikatan tersebut ketika mandi janabah. Dan mandinya dari haid sama dgn mandinya dari janabah tidaklah berbeda}}.” Kemudian Asy Syaikh Mushthafa menyimpulkan : “Hendaklah seorang wanita memastikan sampainya air ke pokok-pokok rambutnya tatkala ia mandi haid sama saja apakah dia dapat memastikan dgn melepas ikatan rambut atau tanpa melepasnya. Apabila tidak dapat dipastikan sampainya air ke pokok rambut kecuali dgn melepas ikatannya maka hendaklah ia melepaskannya -tapi bukan krn melepas ikatan rambut itu hukumnya wajib- hanya saja hal itu dilakukan agar air sampai ke pokok-pokok rambut.” Kesimpulan Tata Cara Mandi Haid1. Menyiapkan air dan daun sidr atau yg bisa menggantikannya seperti sabun dan lainnya.2. Berwudlu dgn baik.3. Menuangkan air ke kepala lalu digosok dgn sangat hingga air sampai ke adsar/pokok rambut .4. Tidak wajib melepas ikatan rambut kecuali bila melepas ikatan tersebut akan membantu utk sampainya air ke pokok rambut.5. Menuangkan air ke seluruh tubuh.6. Mengambil kain/kapas atau sejenisnya yg telah diberi misik atau wewangian lain {bila tidak mendapatkan misik} lalu mengoleskannya ke tempat-tempat yg tadinya dialiri darah haid.

Apabila wanita haid telah suci di tengah waktu shalat wajib baginya utk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir mudlarat bila memakainya atau ia sakit yg akan berbahaya bila ia memakai air maka cukup baginya bertayamum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya uzur. Maka setelah itu ia mandi.Sebagian wanita yg mendapatkan suci di tengah waktu shalat mengakhirkan mandinya sampai waktu shalat yg lain dan ia katakan tidak mungkin dapat menyempurnakan bersuci pada waktu tersebut. Ucapan seperti ini bukanlah alasan dan bukan pula uzur krn memungkinkan bagi dia untuk mandi sekedar terpenuhi yg wajib dan ia menunaikan shalat pada waktunya. {Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin}Masail Haid1} Apa yg harus diperbuat oleh seorang wanita bila ia melihat cairan berwarna kuning atau darah keluar dari farji-nya sebelum tiba masa haid?Asy Syaikh Abdullah bin Jibrin ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : “Apabila seorang wanita mengenali kebiasaan hari haidnya dgn hitungan atau dgn warna darah atau dgn waktu maka ia meninggalkan shalat di waktu kebiasaan tersebut. Setelah suci ia mandi dan shalat. Adapun darah yg keluar mendahului darah haid {sebelum datang waktu kebiasaan haid} maka teranggap darah fasid dan ia tidak boleh meninggalkan shalat dan puasa krn keluarnya darah fasid tersebut. Tetapi hendaklah ia mencuci darah tersebut tiap waktu dan berwudlu tiap mau shalat dan ia tetap shalat walaupun darah tersebut keluar terus menerus. Wanita yg mengalami seperti ini teranggap seperti keadaannya wanita yg istihadlah.”2} Apa yg harus diperbuat bila pakaian yg dikenakan terkena darah haid?Asma’ berkata : ( “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya berkata : ‘Apa pendapatmu wahai Rasulullah apabila salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidnya apa yg harus dia perbuat?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :‘Hendaklah ia mengerik darah pada pakaian tersebut kemudian ia menggosoknya dgn air dan mencucinya. ia dapat shalat dgn menggunakan pakaian tersebut.” {HR.

Bukhari nomor 227 dan Muslim nomor 110/Kitab Ath Thaharah} )3} Wanita haid melihat dirinya telah suci sebelum fajar namun ia belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar apakah ia boleh berpuasa pada hari itu?Al Hafidh Ibnu Hajar menukilkan tentang sisi perbedaan antara puasa dan shalat bagi wanita haid. Ia berkata : “Wanita haid seandainya ia suci sebelum fajar dan ia berniat puasa maka sah puasanya tersebut menurut pendapat jumhur. Puasa tersebut tidak tergantung pada mandi berbeda dgn shalat {harus mandi terlebih dahulu apabila seseorang ingin melaksanakan shalat}.” 4} Wanita haid mendengarkan ayat Sajadah apakah ia boleh ikut sujud?Apabila wanita haid mendengar ayat Sajadah maka tidak diketahui adanya larangan baginya untuk sujud tilawah. Bahkan boleh baginya sujud tilawah sebagaimana hal ini dikatakan oleh Az Zuhri dan Qatadah. Wudlu bukanlah syarat utk sujud tilawah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah membaca surat An Najm maka beliau sujud dan ikut sujud bersama beliau kaum Muslimin yg hadir orang-orang musyrikin jin dan manusia sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. {Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/174}5} Apa hukum menggunakan obat utk menghentikan haid?Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni : “Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwasannya beliau berkata : {{Tidak apa-apa seorang wanita meminum obat utk menghentikan haidnya apabila obat yg dipakai itu sudah dikenal}}.”Namun semua ini berputar pada maslahat dan mudlarat krn ada di antara obat penahan haid tersebut yg memberi mudlarat bagi pemakainya. Maka dalam hal ini hendaklah si wanita menyadari bahwa haid adl ketetapan Allah bagi anak perempuan turunan Adam hingga ia ridla dgn apa yg menimpanya. 6} Seorang wanita keluar darah dari farjinya melewati lama kebiasaan haidnya lalu apa yg harus ia perbuat?Misalnya kebiasaan haid seorang wanita 6 hari lalu suatu ketika bertambah menjadi 7 8 atau 10 hari. Maka ia melihat sifat darah yg keluar setelah 6 hari itu. Bila memang masih seperti darah haid maka ia meninggalkan shalat dan puasa. Karena memang tidak didapatkan batasan tertentu untuk hari-hari haid. Apabila darah yg keluar itu warnanya dan aroma/baunya bukan seperti darah haid maka ia mandi dan shalat. Wallahu A’lam.Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini beliau menjawab : “Apabila kebiasaan hari haid seorang wanita itu 6 atau 7 hari kemudian suatu ketika lbh dari kebiasaannya menjadi 8 9 10 atau 11 hari {dan sifat darahnya seperti darah haid pent.} maka wanita tersebut tetap tidak boleh shalat sampai ia suci. Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menetapkan batasan tertentu dalam hari-hari haid. Dan Allah Ta’ala berfirman :“Mereka bertanya kepadamu tentang haid katakanlah : ‘Haid itu adl kotoran’ “ {Al Baqarah : 222}Maka kapan saja darah itu keluar dari farji wanita yg mengalaminya tetap dikatakan haid sampai ia suci dan mandi kemudian mengerjakan shalat. Apabila pada bulan berikutnya haidnya datang kurang dari perhitungan hari pada bulan sebelumnya maka ia mandi apabila telah suci.

Yang penting kapan darah haid ada pada seorang wanita maka ia meninggalkan shalat sama saja apakah lama hari haidnya itu sama dgn kebiasaannya yg dulu atau bertambah ataupun berkurang dan apabila ia suci maka ia shalat. 7} Apabila seorang wanita suci beberapa saat setelah fajar di bulan Ramadhan apakah ia harus menahan diri dari makan dan minum pada hari itu apakah sah puasanya atau harus mengqadlanya?Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab dalam kitabnya Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl : “Apabila seorang wanita suci setelah terbit fajar maka dalam permasalahan menahan makan dan minum bagi si wanita ulama terbagi dalam dua pendapat :Pertama : Wajib baginya utk menahan dari makan dan minum pada sisa hari itu akan tetapi ia tidak terhitung melakukan puasa hingga ia harus mengqadlanya di lain hari. Ini pendapat yg masyhur dari madzhab Imam Ahmad.Kedua : Tidak wajib baginya menahan makan dan minum pada sisa hari tersebut krn pada awal hari itu ia dalam keadaan haid hingga bila ia puasa maka puasanya tidak sah. Apabila puasanya tidak sah maka tidak ada faidahnya ia menahan dari makan dan minum. Hari tersebut bukanlah hari yg diharamkan baginya utk makan dan minum krn ia diperintah utk berbuka pada awal hari bahkan haram baginya berpuasa pada awal hari tersebut. Puasa yg syar’i sebagaimana yg sama kita ketahui adl menahan diri dari perkara-perkara yg membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Pendapat yg kedua ini sebagaimana yang engkau lihat lbh kuat dari pendapat pertama.” {Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Halaman 9-10}8} Apakah wanita haid harus mengganti pakaian yg dikenakannya setelah ia suci sementara ia tahu pakaian tersebut tidak terkena darah atau najis?Tidak wajib baginya mengganti pakaian tersebut krn haid tidaklah menajisi badan. Hanyalah darah haid itu menajisi sesuatu yg bersentuhan dengannya . Karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan para wanita apabila pakaian mereka terkena darah haid utk mencucinya dan setelah itu boleh dipakai shalat. {Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl.

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Halaman 21-22}9} Adakah kafarah bagi seseorang yg menggauli istrinya dalam keadaan haid?Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang orang yg menggauli istrinya dalam keadaan haid. Beliau bersabda :“Hendaklah orang itu bersedekah dgn satu dinar atau setengah dinar.” {Diriwayatkan oleh Ahmad Tirmidzi Abu Daud Nasa’i dan Ibnu Majah}Namun hadits ini diperselisihkan apakah hukumnya marfu’ {sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam} atau mauquf .Al Imam Baihaqi rahimahullah telah menjelaskan hal ini dgn penjelasan yg mencukupi dalam kitabnya As Sunanul Kubra dan beliau menyebutkan dgn sanad yg shahih sampai kepada Syu’bah bahwasannya Syu’bah rujuk dari pendapatnya semula akan marfu’-nya hadits ini. Pada akhirnya Syu’bah menyatakan hadits ini mauquf atas Ibnu Abbas .Masalah seseorang menggauli istrinya ketika haid maka ada dua keadaan :1. Karena yakin akan kehalalannya walaupun ia tahu dalil yg melarang. Orang seperti ini berarti telah menghalalkan apa yg diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.2. Tahu keharamannya tapi tidak dapat menahan dirinya. Dan ini terbagi lagi dalam dua keadaan :a. Ia lupa atau tidak tahu maka pelakunya tidaklah berdosa.b. Ia melakukan dgn dorongan dirinya sendiri maka jelas ia berbuat dosa besar.Untuk point yg kedua ini diperbincangkan apakah pelakunya harus membayar kafarah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat :1} Tidak ada kewajiban kafarah baginya tapi cukup minta ampun kepada Allah. Kata Al Imam Al Khathabi rahimahullah : “Berkata sebagian besar ulama : {{Tidak ada kafarah baginya dan ia minta ampun kepada Allah. Mereka menganggap hadits dalam permasalahan kafarah bagi yg menggauli istri yg sedang haid itu adl mursal atau mauquf atas Ibnu Abbas dan tidak benar bila hadits tersebut dihukumi muttashil marfu’.” Demikian pula dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam Al Mughni dari mayoritas ulama bahwasannya tidak ada kafarah bagi pelakunya. Dan pendapat ini dipegangi dalam madzhab Syafi’i Malik Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Dihikayatkan pendapat ini oleh Abu Sulaiman Al Khaththabi dari sebagian besar ulama. Ibnul Mundzir juga menghikayatkan dari Atha’ Ibnu Abi Malikah Asy Sya’bi An Nakha’i Makhul Az Zuhri Ayyub As Sikhtiyani Abu Zinad Rabi’ah Hammad bin Abi Sulaiman Sufyan Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’ad. 2} Dikenai kafarah. Namun diperselisihkan lagi dalam hal jumlah kafarah-nya :a} Sebanyak satu dinar atau setengah dinar menurut pendapat Ibnu Abbas Said bin Jubair Al Hasan Al Bashri Qatadah Al Auza’i Ishaq Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat dan Syafi’i dalam Al Qadim. b} Bila masih keluar darah maka kafarah-nya satu dinar kalau sudah berhenti kafarah-nya setengah dinar. Ini pendapatnya satu kelompok dari ahli hadits.c} Kafarah-nya 1/10 dinar menurut pendapatnya Al Auza’i. {Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Halaman 54. Oleh Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi}d} Kafarah-nya membebaskan seorang budak menurut pendapat Said bin Jubair. {Syarh Al Umdah. Halaman 77. Az Zaawii}e} Kafarah-nya sama dgn kafarah jima’ di siang hari Ramadlan yaitu membebaskan budak atau puasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ini merupakan pendapatnya Al Hasan Al Bashri. Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi berpendapat : “Yang benar adl tidak ada kafarah bagi pelakunya Wallahu A’lam” . Kemudian beliau menukilkan ucapan Ibnu Hazm dalam Al Muhalla : “Masalah } maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan wajib baginya utk bertaubat dan minta ampun kepada-Nya. Dan tidak ada kafarah baginya dalam hal ini.” {Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182}Wallahu A’lam Bishawwab.Daftar Pustaka1. Tafsirul Qur’anil Adhim. Al Hafidh Ibnu Katsir. Penerbit Darul Faiha dan Darus Salam.2. Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin.3. Subulus Salam. Al Imam Ash Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad. Shan’a.4. Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani. Penerbit Maktabah Al Imam.5. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Haramain.6. Al Mughni. Ibnu Qudamah Al Maqdisi. Penerbit Darul Fikr.7. Syarah Shahih Muslim. Al Imam An Nawawi. Maktabah Al Ma’arif.8. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz.9. Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Shalih Al ‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah.10. As Sunanul Kubra. Al Imam Al Baihaqi. Penerbit Darul Fikr.11. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.12. Jami’ Ahkamin Nisa’. Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi.13. Syarh Umdatul Ahkam. Asy Syaikh Abu Ubaidah Az Zaawii.14. Shahih Bukhari. Al Imam Al Bukhari.15. Shahih Muslim. Al Imam Muslim.—————————————-(1) Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah : “ ucapan istrinya Tsabit : {{Akan tetapi aku tidak suka kufur dalam Islam}} yakni aku tidak suka apabila aku tetap hidup bersamanya aku akan jatuh dalam perkara yg berkonsekuensi kekufuran.” Al Hafidh selanjutnya menukil ucapan Al Imam Ath Thibi tentang ucapan istrinya Tsabit : “Makna : {{Aku mengkhawatirkan diriku dalam Islam}} utk terjatuh pada perkara yg menafikan/menyelisihi hukumnya seperti perkara nusyuz benci terhadap suami dan selainnya yg semuanya ini mungkin menimpa seorang wanita yg masih muda lagi cantik dan ia benci dgn suaminya bila bertentangan/tidak sama dengan dirinya. Di sini istrinya Tsabit memutlakkan perkara yg menafikan konsekuensi Islam dengan kekufuran.” (2) Meninggalkan perhiasan dan wewangian krn meninggalnya suami atau kerabat. Lihat pembahasan hal ini dalam lembar Muslimah edisi sebelum ini.(3) Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah tentang sebagian riwayat Ummu Salamah : “Yang shahih dalam hadits Ummu Salamah adl sebatas penyebutan mandi janabah tanpa menyertakan mandi haid… .” Asy Syaikh Albani rahimahullah : “Penyebutan haid dalam hadits ini adl syadz tidaklah tsabit. {Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dgn catatan kaki yg dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu Bassam serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar