Pages - Menu

Kamis, 26 April 2012

MENJAWAB OPINI NEGATIF TERHADAP SYARIAT ISLAM

MENJAWAB OPINI NEGATIF TERHADAP SYARIAT ISLAM
Oleh: MR Kurnia
 
Tuntutan pemberlakuan syariat Islam kembali mengemuka.  Dorongannya adalah kesadaran bahwa hanya syariat Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, setelah ideologi sosialisme-komunisme dan kapitalisme dan kapitalisme gagal memenuhi harapan.  Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin derasnya tuntutan penerapan syariat Islam, dan mengkristalnya sikap kaum Muslim untuk hanya taat kepada aturan Islam.  Meskipun demikian, tak urung ada juga pihak-pihak yang tidak suka dengan tuntutan diterapkannya syariat Islam.
Dalam kenyataannya, gagasan mulia itu tidaklah mudah untuk diwujudkan. Banyak ganjalan yang dihadapi, bukan hanya datang dari kalangan non-muslim, tapi juga  dari sebagian umat Islam sendiri termasuk tokoh-tokohnya. Mereka misalnya, mempertanyakan dan meragukan syariat Islam dengan alasan realitas, bentuk interaksi, dan kondisi masyarakat saat ini yang jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW, shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Jadi, menurut mereka, perlu penambahan dan pengurangan atau modifikasi terhadap syariat Islam sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Sebenarnya, hal ini dikarenakan, pertama, adanya sejumlah kesalahpahaman terhadap syariah sedemikian rupa sehingga dalam bayangan mereka syariah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, mencengkeram kebebasan dan seolah akan memundurkan kehidupan masyarakat modern sekarang ini ke jaman batu.  Kedua, memang ada kesengajaan dari kalangan tertentu kalangan tertentu untuk menciptakan stigma negatif terhadap syariah dan melakukan berbagai upaya untuk terus memelihara ketakutan dan ketidaksukaan masyarakat  pada syariat Islam.  Dan, ketiga, pada kenyataannya apapun yang dikatakan sebagai kebaikan-kebaikan yang akan diberikan syariah belumlah terwujud secara nyata dalam kehidupan masyarakat karena, memang, syariat Islam belum total diterapkan.  Semua itu masih sebatas wacana, kecuali pada realitas sejarah dimana tidak semua orang dapat menghayatinya, oleh karena hal itu memang terjadi di masa lampau.  Berikutnya, muncul penolakan terhadap syariat Islam baik secara tegas dan terang-terangan maupun dengan kepura-puraan.
Salah satu metode mereka yang phobi maupun yang anti terhadap syariat Islam adalah membentuk opini publik untuk menghambat maupun untuk menghentikan gerak laju pejuang penegakan syariat Islam. Beberapa logika sederhana yang dikemukakan mereka adalah : “Kata syariat sangat luas artinya dan dapat digunakan di setiap waktu dan di setiap tempat. Karena yang terpenting dari syariat itu prinsipnya, bukan materi hukumnya. Artinya, jika di suatu negeri seperti Indonesia, tidak memungkinkan untuk ditegakkan syariat Islam (ekonomi, politik, ‘uqubat, dll) maka cukup dilaksanakan prinsipnya saja bukan hukum formalnya “.

Sunnatullâh
          Pertarungan antara haq dengan bathil terus berlangsung sejak lama.  Saat Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT menyampaikan Islam, masyarakat mulai membincangkan dirinya dan dakwahnya.  Pada awalnya, bangsa Quraisy sedikit sekali membicarakan hal tersebut.  Mereka menyangka bahwa Muhammad hanyalah seorang ahli syi’ir sehingga ucapannya tidak akan pernah melampaui perkataan para rahib dan pejabat mereka, dan masyarakat pun suatu waktu pasti kembali kepada agama dan keyakinan nenek moyangnya.  Apabila mereka melewati  Nabi menyampaikan wahyu, mereka mencibirnya dengan kata-kata:’Inilah cucu Abdul Muthalib sedang menyampaikan berita dari langit’.  Beginilah terus mereka melakukan pelecehan. 
          Berikutnya, kaum Quraisy mulai menyadari bahaya dakwah Rasul terhadap kedudukan mereka.  Bersepakatlah mereka untuk menentang, memusuhi dan memeranginya.  Mereka menyadari, cara penting untuk menghancurkan dakwah Rasul adalah dengan menjatuhkan pribadinga (‘pembunuhan karakter’) dan mendustakan kenabiannya.  Dimunculkanlah tuduhan-tuduhan dan pertanyaan-pertanyaan memojokkan seperti:’Bagaimana Muhammad ini, kok tidak dapat mengubah bukit Shofa dan Marwa menjadi emas’, ‘Mengapa Jibril yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad itu tidak pernah muncul di hadapan masyarakat’, ‘Tuh, dia buktinya tidak dapat menghidupkan yang mati’, ‘Dia juga tidak dapat memindahkan perbukitan hingga Makkah tidak dikelilingi oleh bukit’, ‘Mengapa dia tidak memancarkan air yang lebih segar dan banyak daripada air zamzam padahal dia sangat tahu akan kebutuhan penduduk terhadap air’, ‘Kalau benar bermanfaat, ‘Mengapa Tuhannya tidak menurunkan ketetapan harga barang-barang untuk masa depan’, dan ungkapan lainnya.  Intinya, menjatuhkan Rasulullah dengan menuduh ajaran-ajaran dari Allah SWT yang disampaikannya dengan tujuan masyarakat menjauhi beliau dan Islam yang dibawanya. 
          Tindakan tadi terus dilakukan oleh kaum Quraisy.  Namun, semua itu tidak menghentikan dakwah Rasul.  Beliau terus mendakwahi masyarakat untuk menganut dan menerapkan Islam, mengungkapkan kebobrokan berhala-berhala yang mereka sembah, serta menunjukkan kepandiran akal para penyembahnya dan pandangan mereka yang mensucikannya.  Akhirnya, mereka pun melakukan berbagai cara untuk merintangi dakwah Rasul.  Cara terpenting adalah penyiksaan, propaganda baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta blokade/embargo.  Mereka mulai menangkap Amr bin Yasir, Yasir ayahandanya, dan Sumayyah ibundanya; lantas dibunuhlah ketiganya.  Semua ini tidak dapat membendung dakwah Rasul dan umatnya.  Quraisy mulailah senjata lain dengan cara propaganda memerangi Islam dan kaum muslim di setiap tempat; di dalam negeri Makkah, mendatangi para jamaah haji untuk melontarkan tuduhan miring terhadap Nabi dan Islam, berangkat ke luar daerah seperti Thaif dan Habsyah untuk tujuan yang sama.  ‘Apa yang dibawa Muhammad adalah buatan manusia, bukan wahyu,’ ungkap mereka.  Lagi-lagi, upaya ini pun gagal.  Akhirnya, ditempuhlah tindakan fisik dengan cara mengembargo Rasul dan para sahabatnya hingga kebutuhan pokok dari para pedagang tidak sampai pada mereka dan perencanaan pembunuhan Rasul pun mulai direncanakan.
          Apa yang terjadi?  Allah SWT memenangkan Rasul dan kaum mukmin.  Allah SWT menegaskan:

﴿وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) membuat makar/tipu daya untuk menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu atau mengusirmu.  Mereka membuat tipu daya dan Allah membuat tipu daya atas mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya.”(TQS.an-Anfâl [8] : 30).
          Tampaklah, tuduhan-tuduhan miring terhadap syariat Islam dan para pengembannya terjadi pada masa Nabi.  Ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya memerangi Islam dan tetap mempertahankan sistem hidup kufur sebagai status quo.  Karena itu, adanya berbagai tuduhan terhadap syariat Islam sekarang ini sangat wajar terjadi.  Dan, ujungnya, sekali lagi, kemenangan ada di tangan kaum mukmin yang benar-benar mengimani wahyu Allah SWT.  Jelas sekali firman Allah Pencipta Alam:

﴿إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

Sesungguhnya Kami pasti menolong para Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia ini serta pada hari ditegakkan kesaksian (kiamat)” (TQS. Al Mukmin [40] : 51).  
Opini Negatif
Berkenaan dengan gagasan penerapan syariat Islam, ada sejumlah  tuduhan miring yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.  Tuduhan miring ini lebih merupakan upaya penciptaan opini negatif terhadap citra syariat Islam.  Disebut opini negatif karena opini tersebut memang tidak sesuai dengan realitas syariat Islam itu sendiri. Opini negatif terhadap syariat Islam ini bila dicermati pada dasarnya disandarkan pada dua hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi faktual di masyarakat. Beberapa opini negatif yang saat ini mulai disuarakan dengan lantang di berbagai media massa sesuai dengan dua hal di atas adalah sebagai berikut :
I.     Konsepsi tentang Islam
a.  Islam tidak mengatur tentang negara, atau dengan kata lain tidak ada sistem negara dalam Islam.  Islam cukup diamalkan secara pribadi tidak perlua diundangkan.  Pendapat seperti ini akan jelas kekeliruannya bila dikonfirmasikan kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.  Negara, yang dalam bahasa Arabnya daulah, memang kata baru yang mengandung makna istilah.  Kata dûlah dalam Al Quran bahkan tidak terkait dengan makna daulah (negara).  Sekalipun demikian, makna negara dalam konteks modern dilaksanakan oleh Nabi SAW.
Secara umum, negara dalam istilah sekarang dimaknai sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah[1].  Nampak, ada 4 unsur hingga terbentuknya negara, yaitu: daerah/teritorial, pemimpin/pejabat, rakyat, dan hukum.  Keempat unsur ini ternyata dibuat oleh Rasulullah SAW sejak mendirikan negara di Madinah.  Daerah/teritorialnya adalah Madinah, kemudian meluas ke Makkah, Yaman dan Jazirah Arab lainnya.  Pada masa awal di Madinah beliau meminta 7 orang kalangan Anshor dan 7 orang kalangan Muhajirin sebagai tempat bermusyawarah[2]. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr, Bilal, Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubai bin Khalaf dan Zaid bin Tsabit.  Nabi SAW bertindak sebagai kepala negara.  Beliau mengirim utusan kepada para kepala negara saat itu (termasuk Heraklius) untuk menyebarkan Islam dan utusan tersebut disambut dengan upacara kenegaraan.  Juga, beliau menunjuk para pejabat.  Sa’ad bin Ubadah pernah diangkat mewakili Rasulullah SAW mengurusi pemerintahan saat beliau memimpin perang Al-Abwa` pada tahun pertama Hijriyah, dan mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk peranan yang sama saat beliau memimpin Perang Tabuk[3].  Pada masa pemerintahannya beliau memiliki 2 pembantu umum, yaitu Abu Bakar dan Umar.  “Pembantuku dari penduduk bumi (madinah) adalah Abu Bakar dan Umar,” sabda Nabi (HR. At Turmudzi dari Abi Sa’id al Khudriy).  Beliau pun mengangkat Hudzaifah bin Yaman sebagai Amir Sirr (semacam Sekretaris Negara) yang memegang hampir semua rahasia dan kebijakan negara[4].   Nabi membagi pemerintahannya menjadi 12 wilayah.  Diantara pemimpin wilayah yang dipilihnya adalah At Taab bin Usaid sebagai wali Makkah setelah futuh Makkah, mantan wakil raja Kisra, Bâdan bin Sassan, setelah masuk Islam diangkat sebagai wali darah Yaman, Qada’ah ad Dausi sebagai amil (pemimpin daerah dibawah Wilayah) di Yaman[5].  Ali bin Abi thalib pernah ditugasi sebagai juru tulis perjanjian antarnegara, Zubair bin Awwam sebagai juru tulis keuangan bidang zakat, dan Al Mughirah bin Shuba’ untuk bidang simpan-pinjam[6].  Selain itu, Rasulullah membagi angkatan bersenjata menjadi beberapa pasukan (sarriyah) yang masing-masing dipimpin seorang komandan.  Ketika Nabi wafat terdapat 30.000 personil angkatan darat dan 6000 pasukan berkuda[7].  Untuk menjaga keamanan masyarakat beliau membentuk semacam polisi kota.  Diantaranya beliau pernah mengangkat Qaisy bin sa’ad menjabat kepala polisi kota (Shâhib asy syuthah)[8].  Realitas demikian menunjukkan bahwa Rasulullah SAW saat itu telah memiliki pejabat-pejabat untuk menjalankan roda pemerintahan.  Dilihat dari rakyatnya, jelas, kaum muhajirin dan anshor.  Dan aturan yang diterapkannya adalah al Quran yang terus turun dan hadits, yang salah satunya terwujud dalam Piagam Madinah (watsîqah Madînah).
Nampaklah, Rasulullah SAW menjalankan sebuah negara menurut definisi modern.  Sekalipun dilihat dari istilah negara termasuk baru namun makna, kandungan dan fungsinya dijalankan oleh Rasul.  Pihak yang phobi atau anti-Islam menyatakan dalam Islam tidak dibahas persoalan negara padahal justru Rasulullah SAW melakukannya.  Ini adalah realitas.  Manakah yang layak dipercaya, tudingan sekelompok orang itu ataukah realitas yang dilakukan oleh Nabi SAW?  Bagi orang yang beriman tentu saja akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai utusan-Nya.  Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak mengenal negara, dan negara tidak boleh digabung dengan agama (Islam) bertentangan dengan realitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.  
Juga, para ulama salaf sepakat mengenai wajibnya mengangkat dan mewujudkan pemerintahan dalam bentuk Khilafah Islam. Baik kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah maupun Syi'ah, Khawarij bahkan Mu'tazilah. Semuanya berpendapat bahwa umat ini harus mempunyai seorang imam yang menerapkan syariat Islam. Dan hukum mengangkatnya adalah wajib[9].
Kenyataan dari sirah Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan beliau SAW menjadikannya sebagai asas Negara. Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah (watsiqoh Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum Muslim dan non Muslim di kota Madinah :
"Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini."
Bila demikian, siapakah yang layak dipercaya, manusia yang menyatakan bahwa cukup Islam itu diterapkan secara individual saja tidak perlu dalam masalah kemasyarakatan dan negara, ataukah Allah SWT yang justru mewajibkan kepada manusia untuk menjalankan Islam secara kaffah (lihat Surat Al Baqârah[2]:208)?
b.   Adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat sangat dipaksakan. Sebab, dalam sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidensil, atau parlementer. Bentuknya pun pro-kontra; apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J.J. Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?
c.    Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tetapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan berupaya mempertahankan formalitas sistem tersebut yang notabene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapatnya, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, dengan tidak diformalkannya syariat Islam berarti hanya akan menciptakan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.
Selain itu, bila konsisten dengan istilah substansi, maka semestinya substansi dalam keseluruhan ajaran Islam itu adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT secara total dalam semua hal.  Itulah yang disebut ibadah[10].  Dengan kata lain, mereka yang menghendaki penerapan Islam substansinya saja (seperti yang penting adil, kesamaan, dsb) gagal menangkap substansi ajaran Islam itu sendiri.  Allah SWT sendiri tegas-tegas memfirmankan hal ini, “Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (TQS. Adz Dzariyat[51]:56).  Bila substansi yang dipahami seperti ini maka sikap yang diambil adalah memperjuangkan dan menjalankan tegaknya syariat Islam. 
d.   Sekarang sudah dapat melaksanakan syariat Islam dengan baik, seperti ibadah, UU perkawinan, UU peradilan agama, dsb. Kelengkapan Dinul Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah SWT, Pencipta seluruh makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang rinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problematika umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah SWT : "Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS An Nahl : 89). Di sisi lain, Al Quran dan Sunnah Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara Muslim dan non Muslim, antara hamba dengan Allah SWT sebagai Al Khalik. Para ulama dan fuqaha terdahulu maupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fiqih karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad atau Imamah (Ulil Amri). 
Allah SWT mewajibkan kita melaksanakan semua itu.  Bila telah menjalankan sebagian tidak puas dengan itu saja, namun akan melakukan yang lain sedemiian hingga dapat menerapkan Islam secara total.  Banyak pertanyaan dapat dimunculkan, sudahkah pakaian ditetapkan berdasar Islam?  Sudahkah produk makanan-minuman atas dasar Islam?  Apakah aturan sosial antara pria-wanita, struktur kewajiban nafkah diantara ahli waris, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam, sistem perburuhan/ketenagakerjaan, ekonomi sudahkah dijalankan atas dasar Islam?  Apakah hak-hak anak dan hak-hak rakyat umumnya telah diperolehnya sesuai dengan syariat Islam?  Sudahkah hubungan luar negeri didasarkan pada syariat Islam sehingga dakwah Islam oleh negara ke negara lain berjalan?  Bila jawabannya belum, tidak layak menyatakan tidak perlu menegakkan syariat Islam dengan dalih sudah diterapkannya segelintir hukum Islam.  Apa bedanya hukum yang satu dengan hukum yang lain, padahal sama-sama berasal dari Allah SWT?  Tidak ada bedanya! 
e.   Hukum Islam itu kejam dan diskriminatif. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau berpikir, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya: apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam ataukah masyarakat yang permisif dan kacau; yang di dalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, zina diaggap biasa dengan dalih suka sama suka, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya, yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (Lihat QS al-A'râf [7]: 179). Akan tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara sekular-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepat 'sok modern'), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan 'primitif'. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan?
Boleh jadi orang yang dikenai hukuman Islam yang keras dan tegas menyatakan kejam.  Dari satu sisi karena ia ingin selamat, dan pada sisi lain karena tidak yakin terhadap kemahaadilan Allah SWT yang telah menetapkan hukum tersebut.  Sebaliknya, orang yang dizhalimi lalu pelaku kezhaliman tersebut akan terpenuhi rasa keadilannya.  Sebagai misal, ada seseorang yang suaminya dibunuh.  Setelah melewati proses pembuktian, terbukti pelakunya si anu.  Vonis pun dijatuhkan hanya 14 tahun.  Sang isteri pun kecewa, rasa keadilannya terusik, ia pun tetap menuntut diberlakukan hukum bunuh atas pembunuh suaminya itu.   Andai saja diberlakukan hukum bunuh maka yang akan berteriak kejam adalah si pembunuh itu dan mereka yang mendukungnya!  Orang lain siapapun dia yang tidak pernah melakukan hal tersebut tidak khawatir sedikit pun.  Mengapa hukum qishash yang diberlakukan setelah menjalani proses pembuktian dikatakan kejam sementara pembunuhan yang jelas-jelas telah dilakukan sesuai kehendaknya tidak dikatakan kejam?  Begitu pula dengan tindak kriminal lainnya.
Pernyataan bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminatif atau primitif merupakan dalil ketakmengertian pengucapnya terhadap paradigma syariat Islam.  Sebagai contoh, pencurian.  Dalam Islam, (1) pendidikan gratis sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk ahli sesuatu, (2) lapangan kerja wajib disediakan oleh negara warga harus mencarinya, (3) bila pendapatan tidak cukup atau tidak dapat bekerja karena sakit tak tersenbuhkan maka ahli waris wajib menafkahinya, (4) bila ahli warisnya tidak menafkahi maka negara berhak dan berkewajiban memaksanya bahkan memberinya sanksi, (5) bila ahli warisnya tidak mampu, negara wajib menjamin kebutuhan pokoknya, (6) andai kas negara lagi kosong maka negara memobilisir kemampuan kaum muslim untuk membantunya, (7) dalam Islam pajak tidak ada secara permanen, yang ada hanya zakat, itupun untuk yang telah mencapai nishab, (8) bila sedang musim paceklik, pencuri tidak dipotong tangan.  Andai saja dalam kondisi syariat Islam ditegakkan seperti ini, lalu ada seseorang tetap saja mencuri lebih dari ¼ dinar (1 dinar=4,25 gram emas), maka mencuri dalam realitas demikian memang ‘keterlaluan’.  Setelah terbukti, maka barulah diterapkan potong tangan.  Orang yang memahami paradigma demikian akan menyatakan, wajar hukum Islam tegas seperti itu.  Kondisi sudah tercipta sedemikian rupa, tapi tetap mencuri juga, bukankah orang yang melakukannya memang betul-betul ‘keterlaluan’?  Apalagi orang mukmin, mereka hanya menyatakan “Kami mendengar, dan kami mematuhi hukum Allah SWT, Dia-lah Dzat Maha Adil!”  Begitu pula dalam hukum rajam, qishash dan hukum lainnya.  Anehnya (atau barangkali tidak anehnya), justru yang diangkat kepermukaan itu adalah hukum kriminal semata, sedangkan hukum Islam dalam masalah pendidikan, ekonomi bagi kepentingan rakyat dan sebagainya malah ditimbun, disembunyikan.  Tidak fair.  Bila kondisinya demikian, nyatalah ungkapan bahwa hukum Islam itu kejam tidak lebih dari sekedar tuduhan miring.
Benar, hukum Islam berasal dari Allah Dzat Mahaadil.  Allahlah sebaik-baik pembuat hukum (Lihat surat At Tîn).  Orang yang mengaku beriman bahwa Allah SWT Mahaadil tidak akan menentang hukum-Nya dengan dalih kejam dan diskriminatif.  
f.    Syariat Islam itu primitif.  Kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke jaman unta.  Hal ini menggambarkan ketakpahaman mereka yang menuding terhadap syariat Islam.  Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak boleh menggunakan pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya.  Sebaliknya, haruslah lusuh, kemana-mana berjalan kaki, tak tersentuh teknologi.  Padahal, pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari Islam.  Siapapun yang paham akan syariat Islam akan menyatakan bahwa Islam itu membentuk masyarakat modern yang beradab.
Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islam-lah yang mengajari Barat yang sekarang  dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan Barat.

Islam melalui syariatnya  bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja,  pola kehidupannya baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariat. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.

Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai obyek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan pernikahan dengan alasan suka sama suka atau “pernikahan” tapi antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan, membiarkan sistem ekonomi berkembang liar dimana pemilik modal tak ubahnya seperti lintah yang menghisap  darah manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) tindakan menjual barang-barang milik umum yang bukan milik negara kepada sekelompok swasta baik pribumi maupun  asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak mendapatkan apa-apa?  Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) demi menguasai negara lain dua negara yang berdekatan diprovokasi secara halus dan licik untuk berperang satu sama lain dimana senjata kedua belah pihak dipasok olehnya?  Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariat dalam proses modernisasi masyarakat.
g.    Syariat Islam tidak bersifat tetap, sehingga perlu modifikasi terhadap syariat sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Dengan memahami fakta yang ada di tengah-tengah manusia tampak nyata realitas dan hakikat benda itu tetap. Misalnya aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam mencuri merupakan aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari pemiliknya atau yang mewakilinya dengan syarat telah mencapai ukuran yang mengharuskan potong tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya adalah potong tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
﴿وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana."(QS. Al Ma’idah : 38)
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
"Potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih"( HR. Imam Bukhori).
Kini berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk memelihara harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan elektronik, sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan kesungguhan berfikir dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan teknik seperti ini mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang dijelaskan oleh hukum syara’? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian, sementara Al Quran itu tetap Al Quran dan Hadits pun tetap Hadits, bagaimana mungkin berfikir untuk mengubah hukum? Bukankah hukum ini merupakan pemecahan yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Pemilik Pahala dan Siksa, serta Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan?
Contoh lain hakikat khamr. Sekalipun penamaannya beraneka ragam, metode pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga berbeda-beda seperti whisky, bir, sampagne, sake dan sebagainya, hakikatnya tetap khamer, yakni minuman yang memabukkan dan merusak akal yang hukumnya haram itu. Allah SWT berfirman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya khamer, judi, undian nasib dan berhala merupakan najis dan perbuatan syetan, maka jauhilah oleh kalian agar kalian beruntung" (QS. Al Maidah 90).
Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah, mungkinkah orang berakal mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus berubah?
Siapa pun yang mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap dari dulu sampai sekarang sesuai dengan batasan-batasan hukum syara’. Memang, terjadi perubahan. Hanya saja perubahan tersebut pada perkara teknis, cara ataupun bentuknya semata. Sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi tetapnya hakikat perbuatan dan benda disertai dengan terjaganya syariat Islam menunjukkan pula bahwa syariat Islam itu bersifat tetap sampai hari kiamat.  Yang berubah adalah objek hukum itu sendiri.
II.    Kondisi Faktual di Masyarakat
a.   Negara-negara Islam yang menerapkan syariat Islam seperti Sudan, Afganistan, Arab Saudi, Iran tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan bahkan cenderung pada kegagalan. Sebenarnya, negara-negara tersebut mengalami kegagalan justru karena tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa penerapan syariat Islam secara parsial akan memunculkan masalah baru. Negara-negara tersebut memang telah menerapkan syariat Islam terbatas pada hukum hudud, jinayat, dan al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum perdata). Namun negara-negara tersebut tidak menjalankan hukum-hukum Islam di bidang kebijakan ekonomi, pemerintahan dan ketatanegaraan, politik dalam dan luar negeri, militer, pergaulan sosial, pendidikan, dan lain-lain. Apalagi negara-negara tersebut dan negeri-negeri muslim lainnya sistem keamanannya sangat bergantung kepada AS dan sekutunya. Karenanya, ketakberhasilan yang terjadi di negeri-negeri muslim tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalih untuk menolak syariat Islam.  Sebaliknya, yang sudah benar-benar terjadi adalah rusaknya kemanusiaan pada saat diterapkannya sistem kapitalistik-sekuleristik.
b.   Akan terjadi tirani mayoritas (muslim) terhadap minoritas (non-muslim) karena masyarakat bersifat pluralis yang heterogen. Pertama, hal ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Pada kenyataannya, hukum manapun yang diterapkan tidaklah diperuntukkan hanya bagi kalangan yang homogen saja. Contohnya, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, akan tetapi aturan yang diterapkannya adalah kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tetapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat. Jawabannya, tentu saja Islam!
Kedua, adanya ketidakpahaman terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu tidak hanya Muslim, tetapi juga Yahudi dan Nasrani. Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan para khalifah penerusnya selama lebih dari seribu tahun orang-orang non Muslim bisa hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Misalnya, dimasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau menjatuhkan hukum qishas (pembalasan setimpal) kepada anak pejabat Gubernur Mesir yang mencambuk seorang anak Nasrani dari suku Qibthi.
Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa mengganggu seorang dzimmi (non Muslim yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah), sungguh (berarti) ia telah menggangguku. Dan barangsiapa yang menggangguku, sungguh ia telah mengganggu Allah." (HR. Thabrani).
Ketiga, tidak adanya penghayatan bahwa syariat Islam itu adalah untuk kebaikan bersama. Sebagai contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini tidaklah ditujukan hanya bagi kepentingan kaum Muslim, melainkan juga untuk kepentingan penduduk non-Muslim. Faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat utang luar negeri. Semua penduduk, Muslim dan non-muslim menanggung kerugian ini.
Dalam sejarah peradaban Islam, bisa dikatakan tidak pernah penerapan syariat dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim. Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di dalamnya warga non-muslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk aqidah Islam. Maka,  sekalipun dalam masyarakat Islam seperti saat Rasulullah memimpin di Madinah atau ketika Islam telah berkembang sampai ke Irak atau Mesir, hidup  dengan damai di tengah-tengah masyarakat Islam, warga non-muslim sebagai ahl-dzimmah dimana harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi.

Siapa saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai kehormatannya akan dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam hal ini, ahl-dzimmah diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak memiliki ketentuan yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga non-muslim dan perilaku orang-orang Islam katakanlah seperti serdadu Serbia yang membantai secara sadis warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang beragama Kristen dan Deputi PM Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen, karena nenek moyangnya keburu habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam disebut Spanyol in three religion, karena disamping Islam yang berkuasa, hidup damai dan sentausa warga  beragama Yahudi dan Nashrani.

Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah justru sebaliknya, pengusiran warga muslim oleh mayoritas non-muslim dimana-mana, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.

Masyhur akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam dalam melindungi warga non-muslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke berbagai wilayah yang semula penduduknya non-muslim. Amr bin Ash ketika menaklukkan Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dielu-elukan di kanan kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia.

Bila terbaca bahwa Islam juga mencita-citakan tegaknya sebuah adikuasa  melalui Khilafah Islam yang akan menaungi umat Islam seluruh dunia dibawah kepemimpinan seorang Khalifah, semata-mata sebagai satu-satunya sarana yang ditetapkan oleh syariat untuk sempurnanya pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Khilafah berfungsi untuk melindungi warganya, muslim dan non-muslim, dan mewujudkan kehidupan yang Islami, damai, sejahtera dan sentausa. Khilafah juga melakukan dakwah dan jihad yang berfungsi sebagai kekuatan untuk menggerakkan penyebaran risalah Islam yang berintikan kalimah tauhid dan akan membentuk tata dunia baru yang sangat berbeda dengan tata dunia yang dibentuk oleh negara-negara Barat sekarang ini.

          Melalui tata dunia yang ada, Barat menyebarkan ideologi  sekularisme. Di bidang ekonomi menyebarkan kapitalisme yang eksploitatif, di bidang politik menyebarkan pertentangan, di bidang  budaya menyebarkan budaya permisif yang berintikan amoralisme, di bidang pendidikan menyebarkan materialisme. Lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan World Bank dibentuk semata untuk melancarkan semua tujuan-tujuan ideologisnya itu. Penindasan dan eksploitasi seakan menjadi  tindakan sah setelah dilegalkan oleh badan-badan dunia bentukan negara-negara Barat itu. Sementara, melalui khilafah, Islam akan menyebarkan tauhid yang berintikan pembebasan manusia dari penghambaan kepada  manusia menuju penghambaan kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Melalui syariat yang harus dilaksanakan sebagai  konsekuensi dari tauhid, akan tercipta tatanan ekonomi yang adil, budaya yang luhur, pendidikan yang meneguhkan visi dan misi penciptaan manusia, dan hubungan antar negara yang didasarkan pada prinsip-prinsip aqidah Islam. Lebih dari 1000 tahun khilafah memimpin dunia, telah terbentuk peradaban yang agung. Sementara kurang dari 200 tahun dominasi Barat, yang muncul adalah peradaban yang kacau, pertentangan, eksploitasi, perang tiada henti, ketidakadilan dan sebagainya.
c.    Masyarakat masih belum siap untuk menerapkan syariat Islam. Sebenarnya yang terjadi saat ini justru sebaliknya, masyarakat yang notabenenya adalah kaum Muslim sangat merindukan diterapkannya syariat Islam. Namun hal tersebut kemudian dibelokkan oleh tokoh-tokoh Muslim yang berada di ormas-ormas maupun parpol Islam yang masih ragu terhadap syariat Islam. Segelintir tokoh-tokoh tersebutlah sebenarnya yang belum siap menerapkan syariat Islam yang kemudian mengatasnamakan masyarkat. Kita pun layak untuk bertanya, ketika tokoh-tokoh ormas dan parpol tersebut secara implisit maupun eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya terhadap formalisasi syariat dalam negara, apakah massanya dari kaum Muslim ditanya terlebih dahulu kesiapannya terhadap hal itu? Ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi Muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya lebih dulu? Di Indonesia, sesuai hasil penelitian IAIN Syarief Hidayatullah yang ditayangkan Trans TV (16/2/2002) menyatakan bahwa 64% penduduk Indonesia setuju diterapkan syariat Islam.  Apalagi, kini tuntutan penegakkan syariat Islam menggema di mana-mana.  Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya. 
d.   Penerapan syariat Islam akan memicu meruncingnya disintegrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sebenarnya sangat tidak berhubungan dengan masalah penerapan syariat Islam. Misalnya, lepasnya Timor Timur bukan disebabkan oleh masalah penerapan syariat Islam. Masalah disintegrasi yang dibenturkan dengan masalah penerapan syariat Islam sebenarnya merupakan lagu lama yang direlease ulang. Kita masih ingat sejarah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka, terjadi manuver licik yang dilakukan oleh PPPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan modus bahwa kalau ketetapan BPUPKI yang memuat "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" ditetapkan sebagai konstitusi negara, golongan Kristen dan Katolik dari Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia karena merasa didiskriminasikan. Akhirnya Piagam Jakarta disingkirkan namun Timor Timur memisahkan diri juga. Ancaman semacam ini memang akan dijadikan senjata pamungkas untuk menolak penerapan syariat Islam. Kalau umat Islam berhenti berjuang untuk menerapakan syariat Islam karena diisukan menyulut disintegrasi bangsa, maka kita akan terperosok untuk yang kedua kalinya pada lubang yang sama.
Bila tuduhan tersebut keluar dari mulut orang kafir barangkali dapat dimaklumi.  Namun, jika keluar dari ucapan seorang muslim patut kita bertanya apakah betul ucapan Anda bahwa Islam tidak dapat menyatukan manusia.  Padahal, dulu sebelum Islam datang, qobilah-qobilah senantiasa saling bermusuhan.  Tak henti-hentinya.  Namun, pasca diutusnya Rasul dan berhasil mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, sejarah mencatat Islam berhasil menyatukan manusia dari berbagai jenis tersebut.  Ini adalah sejarah, realitas!  Bahkan, mampu menyatukan 2/3 dunia.  Tuduhan jika Islam diterapkan akan menyebabkan disintegrasi sama saja dengan menolak realitas keberhasilan Islam menyatukan berbagai bangsa.  Menolak realitas sama saja dengan penolakan seseorang dilahirkan oleh seorang ibu.
Lebih dari itu, Allah SWT menegaskan bahwa yang dapat menyatukan itu adalah Islam itu sendiri (hablum minallâh).  Berpegang pada Islam menyatu, melepaskan Islam bercerai-berai.  Allah SWT berfirman:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah (Islam) semuanya dan janganlah bercerai-berai” (TQS. Âli Imrân[3]:103).
﴿وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.  Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertaqwa” (TQS. Al An’âm[6]:153).
Jadi, manakah yang layak dipercaya, apakah pernyataan manusia “Jika diterapkan Islam akan terjadi cerai-berai/desintegrasi” ataukah firman Allah Dzat Maha Benar yang menyatakan bahwa justru jika Islam ditegakkan akan terbentuk kesatuan dan jika tidak akan tercerai-berai? 
e.   Para pendiri bangsa (the founding fathers) telah merumuskan negara Indonesia seperti saat ini, yaitu syariat Islam berada di luar aspek pengaturan negara.  Hal ini menyangkut kenyataan sejarah, oleh karena itu mari kita lihat sejarah masalah  ini secara lebih cermat. Sesungguhnya Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9 (satu orang di antaranya Kristen dari pergerakan nasionalis, yakni Mr. A.A. Maramis) adalah hasil rumusan resmi yang dikeluarkan oleh wakil bangsa yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan "gentleman’s agreement". Dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno sebagai Ketua Panitia 9 menyampaikan bahwa "Piagam Jakarta" merupakan hasil akhir dari kompromi yang diperoleh secara susah payah dari kalangan nasionalis dan kalangan Islam. Namun pada sidang 11 Juli seorang Protestan bernama Latuharhary menolak kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya itu. Pada sidang tanggal 14 Juli 1945 tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo (yang didukung oleh Kyai Sanusi) usul agar kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun Sidang akhirnya memutuskan dipertahankannya hasil kompromi tersebut. Berkaitan dengan pasal 29 UUD 1945 yang dalam rancangan Batang Tubuh Konstitusi yang dibuat oleh BPUPKI sebagai pasal 28, Ki Bagus Hadi Kusumo kembali mengusulkan agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun sidang 15 Juli 1945 itu kembali menolak usulan Ki Bagus Hadi Kusumo dan secara mufakat menyetujui hasil panitia yang dilaporkan oleh Prof. Supomo yaitu: Pasal 28 Bab X tentang Agama, (1) Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Kemudian hanya dalam tempo 2 jam 45 menit (dari jam 11.30 sampai 13.45) isi pembukaan dan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus[11].  Padahal, perubahan yang ditolak oleh elite politik tersebut adalah perubahan kepada konsep awal.  Bila demikian, terlihat bahwa alasan ‘tidak ingin mengkhianati para pendiri bangsa’ seakan-akan heroik, namun sebenarnya hanyalah retorika untuk menolak syariat Islam. 
Apalagi, sejatinya syariat Islam itu bukan hanya untuk diterapkan pada kaum muslim melainkan juga untuk seluruh warga.  Allah SWT memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup dibawah naungan Daulah Islamiyah.  Diantara ayat Al Quran yang memerintahkan itu adalah:
﴿إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya engkay menghukumi diantara manusia (an nâs) dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…”(TQS. An Nisâ[4]:105). 

Ayat tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia.  Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya melainkan kepada semua manusia.  Karenanya, dalam konteks Indonesia, tidak cukup hanya amandemen pasal 29 saja tapi perlu UUD syariah (ad Dustûr al Islâmiy). Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul akan mengetahui bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya terdiri dari kaum muslim.  Ternyata, justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari banyak qobilah serta keyakinan yang berbeda.

Dengan demikian, secara i’tiqodiy, anggapan  bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat. Allah SWT memerintahkan agar syariat Islam diberlakukan bagi semua orang yang hidup dibawah naungan Daulah Islamiyah.  Diantara ayat Al Quran yang memerintahkan itu adalah:
﴿إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini (Al Quran) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya engkay menghukumi diantara manusia (an nâs) dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…”(TQS. An Nisâ[4]:105). 

Ayat tersebut (dan ayat-ayat senada) bermakna umum untuk seluruh manusia.  Artinya, syariat Islam bukan hanya wajib diberlakukan bagi pemeluk-pemeluknya melainkan kepada semua manusia.  Selain itu, siapapun yang membaca sirah Rasul akan mengetahui bahwa negara yang beliau bentuk sejak di Madinah bukan hanya terdiri dari kaum muslim.  Ternyata, justru Islam mampu menyatukan Jazirah Arab yang terdiri dari banyak qobilah serta keyakinan yang berbeda.  Dengan demikian, secara i’tiqodiy, anggapan  bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat. 

Jelaslah Allah SWT mewajibkan tegaknya syariat Islam, sementara dengan membawa-bawa nama the founding fathers mereka justru menolak kewajiban tersebut. Padahal, andai saja the founding fathers itu sekarang hidup dan melihat keadaan yang carut marut jauh dari kemanusiaan seperti ini, sementara pada sisi lain terdapat alternatif solusi berupa syariat Islam, maka niscaya mereka yang berpikiran jernih akan mendukungnya.  Namun, lagi-lagi, penolakan syariat Islam seakan logis dengan dalih  the founding fathers. Andaikan memang demikian, layakkah sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan Al Quran menolak kewajiban dari Allah SWT untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam hanya dengan alasan para pendahulu? Berkaitan dengan hal ini Allah SWT mengingatkan:
﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَا ءَابَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُوْنَ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:’Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’.  Katakanlah:’Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan keji.’  Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (TQS. Al A’râf[7]:28).                   

Sikap Kaum Muslim

Upaya mengembalikan aqidah dan hukum syariat Islam sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dunia Islam adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu merupakan kewajiban dari Allah SWT bagi kita.  Oleh karena itu, kini saatnya ujian iman bagi kaum Muslim, turut memperjuangkan Islam demi kebahagiaan dunia-akhiratnya atau netral bahkan menentangnya.  Allah SWT mengingatkan kita:
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَ لاً بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa' 60).
Alhamdulillâh.

Catatan Kaki


[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, halaman 40.
[2] Musnad Imam Ahmad, Jilid V, halaman 314.
[3] Sîrah Ibnu Hisyâm, Jilid I, halaman 591 dan Jilid II halaman 519.
[4] Muhammad Abdullah asy Syabâni, Nizhamul Hukmi wal Idârah fid Dawlah al Islâmiyyah, halaman 24.
[5] Al Qattaniy, Nizhâmul Hukûmah an Nabawiyyah, Jilid I, halaman 241 – 244.
[6] Al Qattaniy, ibidem, halaman 180.
[7] Anwar ar Rifa’i, An nuzhum al islâmiyyah, halaman 141.
[8] Lihat hadits riwayat Imam Muslim, nomor 3939.
[9] Imam asy-Syaukani, Nayl al-Authar, Jilid VIII, halaman 265.
[10] Menurut istilah syar’iy ibâdah berarti thâatullâh wa khudhû’un lahû wa ilyizâmu mâ syara’ahu min ad dîn (taat kepada Allah, tunduk kepadanya serta terikat dengan hukum agama (Islam) yang telah disyariatkan-Nya).
[11] Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta, halaman 41-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar