Mempelajari
lahan.
Ia pecah-pecah
akibat keringnya sekularisme.
Ia panas
akibat ketidakjujuran terhadap aqidah.
Ia lembab
akibat sejarah yang kini hanya terlihat formalitasnya saja.
Susunannya lemah
tak beraturan.
Namun tanah
tetaplah tanah.
Ia harus
digarap agar subur.
Bisakah???
Ketika orang lain berbicara sejuta
bahasa, tetaplah bekerja.
Cangkullah sawah itu dan taburi
dengan benih. Ketika orang
lain berdiam tak tahu harus berkata
apa, teruskan kerja.
Siangi dan airi putik-putik yang baru
bertunas itu. Ketika
orang lain saling tuding saling
hunus, bekerjalah dalam
istirahat. Senandungkan seranai
pengundang angin dan
gerimis. Ketika orang lain terlelap
pada tidur nyenyak mereka,
jangan putuskan kerja anda.
Bekerjalah dengan doa dan harapan;
"Semoga ikhtiar ini menjadi
kebaikan bagi segenap semesta."
Maka, ketika orang lain tergugah dari
peraduannya, ajaklah
mereka untuk mengangkat sabit
memungut panen yang telah masak.
Bila mereka tak jua berkenan, jangan
kecil hati. Terus dan
tetaplah bekerja. Bekerja, karena
itulah yang semestinya kita
kerjakan.
Apa pun yang terjadi di muka bumi,
sang mentari tak berhenti sedetik pun dari kerja; mengipasi tungku pembakaran
raksasanya;
menebarkan kehangatan ke seluruh
galaksi. Maka, tak ada alasan
yang lebih baik untuk keberadaan kita
di sini, selain bekerja,
mengubah energi hangat matahari
menjadi kebaikan semesta.
***************
Sebuah
ungkapan batin yang Terinspirasi dari geliat kota sekarang, persembahan bagi
diri sendiri dan para aktivis dakwah yang terus menabur “pupuk” pada “tanah”
kering dihadapan. Bergelut dengan
parahnya system dan kesibukan dunia, Dakwah tetap nomor 1… PASTI BISA!!!