Senin, 07 Februari 2011
Tentang Ilmu dan Menuntut Ilmu serta Sahnya Mandi Wajib
Ilmu dan Menuntut ilmu adalah dua hal yang berbeda. Ilmu, meski sifatnya abstrak, namun tetap terkategori benda sehingga hukum tentang ilmu juga terkait dengan hukum benda yaitu halal dan haram. Sedangkan menuntut ilmu, adalah termasuk jenis perbuatan manusia yang hukumnya bisa saja fardhu, mandub, mubah, makruh ataupun haram. Yang fardhupun terbagi atas fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Para ulama secara umum menjelaskan bahwa menuntut ilmu yang tergolong fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu yang terkait pelaksanaan fardhu ‘ain oleh pelakunya. Seseorang yang beranjak baligh dan otomatis telah terkena taklif kewajiban sholat, maka dia wajib mempelajari ilmu shifat sholat, mulai dari rukun sholat, cara mengetahui waktu dan arah sholat, hal hal pembatal sholat, tata cara sholat berjama’ah dan lain sebagainya.
Demikian juga dia harus mengetahui hukum hukum pergaulan yaitu batasan menutup aurat, menjaga pandangan mata, pakaian apa saja yang haram dipergunakan, batasan ikhtilath (interaksi) dengan sesama atau lawan jenis, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi sangat penting terutama menjadi sangat utama pada masa sekarang ditengah arus dunia pergaulan remaja yang bebas dan tidak lagi mengindahkan rambu rambu syariat.
Pendeknya, ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu yang terkait dengan kewajiban syariat sehingga dengannya seorang mukalaf bisa melaksanakan setiap perbuatannya sesuai dengan perintah syara’ terutama perintah yang wajib dan haram. Adapun aqidah, sudah tentu wajib ditamankan dan dipahamkan sejak dini.
Adapun ilmu yang terkait dengan kemasyarakatan, maka para ulama pada umumnya sepakat bahwa menuntut ilmu tersebut adalah fardhu kifayah. Para ulama klasik – seperti Imam Ghozali dalam Ihya-nya – sering mengemukakan ilmu tabib (kedokteran) sebagai contoh ilmu fardhu kifayah. Mereka juga sepakat bahwa apabila dalam masyarakat tidak ada yang mempelajari ilmu tersebut sehingga kesehatan masyarakat terabaikan, maka setiap anggota masyarakat tersebut akan menanggung dosa karena mengabaikan fardhu kifayah tersebut (kedokteran).
Ilmu agamapun ada yang tidak wajib (tidak fardhu ‘ain) dipelajari, seperti ilmu tafsir ataupun ilmu hadits. Dua hal tersebut hukumnya juga fardhu kifayah, cukup ada satu orang atau lebih yang mendalami ilmu tafsir atau ilmu hadits yang mensyarakatkan belajar sastara arab, rijalul hadits, hafal ratusan ribu hadits dan syarat syarat berat lainnya. Masyarakat cukup mendapatkan hasil instant dari ilmu tersebut berupa kitab kitab tafsir ataupun kitab kitab hadits.
Inilah sekilas pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Para Ulama-pun tidak kaku membagikan fardhu ‘ain adalah setiap ilmu agama dan fardhu kifayah adalah setiap ilmu dunia.
Fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain yaitu ketika fardhu kifayah tidak terlaksana sempurna dan memang memerlukan semua manusia di tempat terjadinya kewajiban tersebut.
Contoh : Pada asalnya mengurus jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Namun dalam case tertentu disebabkan mewabahnya penyakit mematikan sehingga terjadi kematian masal, lalu ternyata tidak cukup hanya mengandalkan segilintir orang saja untuk mengurus jenazah, maka individu individu yang ada di komunitas tersebut wajib turun tangan mengurus jenazah hingga semua jenazah bisa terkuburkan tepat pada waktunya.
Contoh lain adalah kewajiban mengangkat khilafah yang pada awalnya adalah fardhu kifayah dan tugas dari ahlul ahlii wal aqdi yang harus dilaksanakan dengan batas pengangkatan maksimum tiga hari, maka kewajiban tersebut pada saat ini menjadi fardhu ‘ain sebab batas toleransi status quo tanpa khilafah (3 hari) telah lewat dan semua organisasi yang saat ini berjuang untuk mewujudkan khilafah hingga detik ini (sejak 83 tahun setalah khalifah terakhir turun) masih belum mampu mengangkat khalifah.
Terkait dengan masalah “Ilmu dunia”, maka ilmu dunia yang mubah fardhu kifayah, bisa juga berubah menjadi fardhu ‘ain yang harus dipelajari/diketahui setiap orang. Setiap mukalaf tidak hanya wajib mengetahui hukum perbuatan yang hendak dia lakukan yaitu apakah wajib, mandub, mubah, makruh dan haram. Apabila perbuatannya itu terkait dengan penggunaan benda, maka dia juga wajib mengetahui apakah benda yang dipergunakan itu boleh dipergunakan atau tidak (halal atau haram). Dan untuk mengetahuinya maka setiap muslim wajib melakukan ihsasul waqi (identifikasi fakta) pada benda yang akan dipergunakan tersebut.
Contoh : Aktivitas mandi wajib. Tafaqquh fiddiin untuk mengetahui apa saja yang mewajibkan mandi adalah sesuatu yang harus dilakukan dan ihsasul waqi untuk mengetahui apakah sabun/shampo yang akan dipergunakan mandi itu halal atau haram juga wajib dilakukan, terutama karena hampir semua sabun/shampo diindikasikan mengandung bahan berasal atau diduga berasal dari babi. Asal kita sadar saja bahwa bila kita teliti sangat sulit untuk mencari shampo yang ada logo halal-nya. Hal ini karena LP POM MUI disamping tenaganya terbatas, juga memang tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksa setiap produsen mensertifikasikan halal produk mereka. Diantara ingridents yang harus diwaspadai karena jelas jelas dari babi adalah semisal Gelatin, E 422 Glycerin, E 920 L-Cystein, dsb. Dan yang diduga berasal dari babi adalah E 921 L-Cystin, mono digliserida, dsb. Informasi yang lebih akurat bisa dibaca di majalah HALAL dari LP-POM MUI atau langsung ke website LPPOM MUI.
Karenanya, menjadi wajib bagi kita – pada kondisi sekarang – untuk mengetahui jenis jenis bahan apa saja yang berasal atau diduga berasal dari babi, sehingga kita bisa check apakah barang yang akan kita pakai itu halal atau haram. Dan kwajiban mengetahui kandungan haram ini adalah syarat agar mandi wajib kita menjadi sah dan bukannya malah menambahi najis itu sendiri.
Inilah salah satu ilmu dunia yang wajib diketahui pada saat penegakan halal haram terabaikan terutama setelah runtuhnya Daulah Khilafah penegak dan penjaga syariat Islam disetiap jengkal tanah umat Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar