Qiyas[1] (قياس)
A. Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur (التقدير). seperti kalimat :
قست الارض بالمتر
“Aku menguku tanah dengan memakai satuan meter”
قست الثوب بالذراع
“Aku mengukur baju dengan menggunakan siku/hasta.”
Qiyas mengharuskan adanya dua perkara, yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama.
Qiyas menurut istilah ushul figh adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara yang lainnya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan ‘illat di antara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut adalah illat.
B. Rukun Qiyas
1. Al-Ashlu (الأصل), yakni peristiwa yang menjadi sumber qiyas
2. Al-Far’u (الفرع) atau cabang, yakni peristiwa yang akan diqiyaskan kepada al-Ashlu
3. Hukum syara’ yang khusus bagi asal.
4. ‘Illat (علة)yang menyatukan antara asal dengan cabang.
Contoh kasus:
Pengharaman (pelaksanaan) ijarah ketika azan Jumat, yang diqiyaskan pada keharaman jual-beli ketika azan Jumat, karena adanya ‘Illat yang digali dari nash, yakni melalaikan shalat jumat. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumuah [62]:9).
Dari kasus di atas, disimpulkan:
1. Asal : Jual-beli
2. Cabang : Ijarah
3. Hukum syara’ khusus bagi asal : haramnya jual beli pada saat azan jumat.
4. Illat : melalaikan shalat jumat.
C. Syarat-Syarat Rukun Qiyas:
1. Syarat Asal
Asal adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya, atau sesuatu yang dikenal dengan dirinya sendiri tanpa memerlukan orang lain. Asal disebut juga maqis alaih. Syaratnya adalah harus ada ketetapan hukum tentangnya, yakni hukumnya tidak dihapus.
2. Syarat Hukum Asal
a) Harus berupa hukum syara’ dengan dalil dari al-Quran, Sunnah atau ijma sahabat.
b) Dalil yang menunjukkan hukum asal tidak boleh mencakup cabang
c) Hukum asal harus mempunyai illat tertentu yang tidak samar
d) Hukum asal tidak boleh lebih akhir datangnya dari hukum cabang
e) Hukum asal tidak boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah qiyas. Maksudnya, jika telah disyariatkan sejak dari awalnya dan tidak ada pembandingnya, seperti halnya keringanan safar, atau maknanya tidak dapat dipahami dan dikecualikan dari kaidah umum, seperti persaksiannya Khuzaimah yang bisa menggantikan dua orang saksi, atau dimulai dengannya dan tidak dikecualikan dari kaidah apapun, seperti bilangan rakaat dan ukuran hudud.
3. Syarat Cabang
Cabang adalah sesuatu yang hukumnya masih diperselisihkan. Disebut juga al-maqis. Cabang harus memenuhi beberapa syarat, yakni:
a) Harus kosong dari perkara yang saling bertentangan dan yang dikaitkan, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang dituntut oleh illat qiyas.
b) Illat yang terdapat di dalam cabang harus berserikat dengan illat asal, baik dalam zatnya ataupun jenisnya.
c) Hukum yang ada pada cabang harus menggambarkan hukum asal dalam zatnya, seperti wajibnya qishas atas jiwa, yang berserikat atas orang yang dibunuh, dengan memakai benda tumpul atau tajam. Atau dalam jenisnya, seperti ditetapkannya perwalian bagi wanita yang belum baligh dalam nikahnya yang diqiyaskan terhadap ditetapkannya perwalian atas hartanya. Yang berserikat diantara perwalian tersebut adalah jenis perwalianya, bukan zatnya. Apabila tidak seperti itu, maka qiyasnya batal.
d) Hukum cabang tidak boleh ditetapkan oleh nash
e) Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
4. Illat
illat adalah sesuatu yang karena keberadaannya, maka hukum menjadi ada. Juga disebut perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’(pensyariatan suatu hukum). Illat adalah dalil, tanda dan yang memberitahu adanya hukum. Illat-lah yang membangkitkan hukum.
Contoh:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]:7)
Illat yang tedapat dalam ayat ini adalah “كيلا يكون دولة بين الأغنياء منكم“ supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu”, melainkan menyebar kepada yang lain. Illat tersebut telah menunjukkan suatu hukum, dan termasuk pembangkit disyariatkannya hukum tadi.
Syarat-syarat Illat:
1. Harus syar’iyyah, yakni terdapat di dalam nash, baik secara jelas (shurarah), dengan penunjukan (dilalah), atau digali dari nash (istinbat), atau diqiyaskan. Tidak boleh digali dari akal.
2. Tidak berbentuk hukum syara’ dengan zatnya.
3. Muta’addiyah, yakni merembet kepada yang lain, sehingga illat yang terbatas (dengan sabab) tidak pantas bagi qiyas.
4. Tidak boleh lebih akhir datangnya dari hukum asal, karena akan memberi makna bahwa hukum asal telah tetap sebelum illat, dengan kata lain, illat tidak sebagai pembangkit diberlakukannya hukum.
5. Harus merupakan sifat yang berpengaruh pada hukum, dan memberikan arti terhadap peng-illat-an. Contoh: marah merupakan sifat yang mempengaruhi larangan bagi hakim dalam menjatukan vonis, karena perasaan marah akan menyebabkan terganggunya pemikiran yang akan mempengaruhi vonis hukum. Lain halnya dengan tinggi badan seorang hakim, sifat ini tidak berpengaruh.
6. Illat tidak boleh semata-mata hanya mengandalkan adanya kesamaan yang mempengaruhi. Misalnya tentang shalat subuh yang tidak boleh dijamak dan diqashar lalu diqiyaskan dengan tidak bolehnya menjamak shalat maghrib, karena sama-sama shalat yang tidak boleh diqashar.
7. Dalam penta’lilan dengan illat tidak boleh adanya pembatalan. Jadi illat harus mutharidah (teratur dan berkesinambungan) sehingga hukumnya tidak saling betentangan.
Contoh: perkataan orang yang menjadikan keringanan berbuka pada saat perjalanan sebagai illat, bahwa illatnya adalah masyaqqah ( adanya kesulitan). Pendapat ini ditentang dengan penyatan bahwa orang yang membawa benda-benda berat sementara tidak dalam perjalanan maka tidak diberi keringanan untuk berbuka, meski derajat kesulitanya melebihi orang yang dalam perjalanan menggunakan kendaraan, pesawat dan lainya.
8. Illat harus berpengaruh pada tempat perselisihan.
9. Tidak boleh berupa hikmah yang diartkan sebagai tujuan, dimana syara’ telah mendorongnya dalam pensyariatan.
10. Illat harus selamat, yakni tidak bertolak belakang dengan nash yang berasal dariAl-Quran, As-Sunnah dan ijma’ sahabat.
Contoh Berbagai macam Jenis Illat :
1. ‘Illat Shurarah. Rasul bersabda :
إِنْ كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجُ اثْناَنِ دُوْنَ الثَّالِثِ مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَالِكَ يُحْزِنُهُ
‘Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul, maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan oang yang ketiga, karena hal itu akan membuatnya bersedih.[2]
Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk illat karena menggunakan huruf ta’lil yang sharih (yakni lafald min ajli).
2. ‘Illat Dilalah, dengan menggunakan sifat mufhim :
Allah berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
(
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (QS. Al-Anfal [8]: 60)
Kata تُرْهِبُونَ “menggetarkan musuh” adalah sifat yang sesuai dengan mafhum ( sifat memberikan arti peng-‘illat-an) bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh. Lafald tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Rasululah bersabda:
مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُقَاتِلَ
“Wanita itu tidak untuk berperang”
Hadits ini memberikan arti bahwa ‘illat keharaman membunuh wanita yang turut serta berperang adalah karena wanita itu tidak ikut berperang menghadapi tentara musuh. ‘Illat ini merupakan sifat mufhim. Maka ‘illat yang ada pada hadits tersebut merupakan illat dilalah. Namun apabila wanita tersebut dari kalangan musuh yang ikut terlibat memerangi kaum Muslim, maka boleh dibunuh.
3. ‘Illat mustanbathah:
Rasulullah SAW bersabda :
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ هَلْ يُفْسِدُ صَوْمَكَ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَكَذَالِكَ الْقُبْلَةُ
‘Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa), apakah akan merusak puasamu ? Umar menjawab : ‘Tidak’. Beliau bersabda’ Begitu juga dengan mencium’.[3]
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya shaum karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium isterinya tetapi tidak keluar sperma maka tidak membatalkan shaum. Jadi al-inzal (keluarnya sperma) adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur. Namun jika mengakibatkan masuknya air ke dalam perut , shaumnya menjadi batal/rusak. Begitu juga mencium yang berakibat keluarnya sperma.
4. ‘Illlat Qiyasiyah
Rasul bersada ;
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ
‘Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang (yang datang dari pelosok) pedesaan.[4]
‘Illat fasadnya jual-beli tersebut adalah keberadaan orang yang menjual yang termasuk penduduk kota, dan yang membeli termasuk yang datang dari pelosok, yakni dari pedalaman. Keduanya merupakan sifat yang menunjukkan adanya ‘illat. Penyebabnya, orang yang datang dari pedalaman tidak mengetahui harga yang ada di pasaran dan yang diketahui oleh penduduk kota. Dia tidak mengetahui harga pasar. ‘Illat ini (keberadan penjual dari kota dan pembeli dari desa) disebut illat dilalah, karena kedua sifat ini merupakan sifat yang memberikan arti adanya ‘illat.
Dalam hadits tersebut terdapat hubungan implikasi antara ‘illat keadaan pembeli dari kalangan pendudk desa) dengan hukum (fasadnya jual-beli). Hubungan implikasi ini adalah ketidaktahuan orang desa terhadap harga pasar. Berdasar hal ini maka setiap sifat yang meliputi hubungan ini (aspek peng-‘illat-an) merpakan ‘illat qiyasiyah, seperti keberadaan orang yang membeli dan baru keluar dari penjara, atau orang yang datang setelah lama menghilang, maka jual-belinya menjadi fasad. Keadaan pembeli yang termasuk penduduk desa disebut ‘illat dilalah. Sedang keadaan pembeli yang baru keluar adari penjara termasuk ‘ilat qiyasiyah. Penyatunya adalah faktor ketidaktahuan terhadap harga pasar.
D. Perbedaan ‘illat dan sabab
Sabab adalah tanda (‘amarah) yang memberi tahu adanya suatu hukum, seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberi tahu adanya (terwujudnya) shalat. Sedangkan ‘Illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum. ‘Illat adalah pemicu disyariatkannya suatu hukum. Jadi, ‘Illat adalah sabab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk salah satu dalil-dalil hukum. Contohnya adalah melalaikan shalat, yang digali dari firmanAlah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumuah [62] : 9)
Melalaikan shalat, menjadi sebab disyariatkanya suatu hukum, yaitu haramnya berjual-beli ketika azan Jumat. Dengan demikiain disebut ‘illat bukan sabab. Berbeda denga tergelincirnya matahari, bukan merupakan’illat, karena shalat dzuhur tidak disyariatkan karennanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa (waktu shalat ) dzuhur telah terwujud.
E. Perbedaan ‘Illat dengan Hikmah
Tujuan yang menjelaskan maksud syari’ dari suatu hukum biasa dikenal dengan istilah hikmah, bukan ‘illat. Hal ini karena hikmah tidak termasuk perkara yang mendorong disyariatkanya suatu hukum.
Berikut nashyagnmenjeasakan hikmah:
1. Nash yang menjelaskan syariat Islam secara umum:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya [21]:107)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Isra’ [17]: 82)
Obat (syifa) dan rahmat adalah sifat bagi syariat dilihat dari hasilnya, bukan ‘illat atas pensyariatannya. Bentuk nash tersebut tidak menunjukkan ta’lil, sehingga menafikan adanya ‘illat, sehingga rahmat merupakan hikmah dari diberlakukannya syariat.
2. Nash yang menjelaskan hikmah pada setiap hukumnya
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj [22]: 28)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah [5]: 91)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Perbedaan besar antara hikmah dengan ‘illat adalah bahwa ‘illat merupakan pemicu disyariatkannya suatu hukum, sedang hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum. ‘Illat itu ada sebelum adanya hukum, sedang hikmah adalah hasil yang diperoleh dari pelaksanaan hukum.
Bercermin dari surat Adz-Dzariat ayat 56 di atas, pada kenyataannya banyak sekali makhluk Allah yang tidak beribadah kepada Allah. Selanjutnya,. pada surat Al-Hajj ayat 28, banyak sekali orang yang melaksanakan ibadah haji tetapi tidak bisa menyaksikan manfaatnya. Begitu juga dengan hikmah-hikmah lainnya kadangkala terwujud, kadangkala tidak terwujud.
________________________________________
[1] Atha’ Bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), hal. 107-133.
[2] HR. Ahmad: 1/375, 425.
[3] Ahmad : 1/12, Ibnu Khuzaimah: 3/240, Mustadrak: 2/198, Al-Baihaqi,; 4/218.
[4] Bukhari: 2033, Muslim: 1413.
Terima kasih Mas..ada makalahnya ndak mas? kalau ada boleh kirimkan mas? hehe/... azizahmad680@gmail.com
BalasHapus